03 Januari 2007

Islam dan teknologi


Kemuliaan Islam dalam Perspektif Sains dan Teknologi

“Siapa yang di suatu jalan untuk menuntut ilmu pengetehuan, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga” (HR. Muslim)

kita tak dapat menyangkal bahwa semua penemuan sains dan teknologi, serta rangkaian kejadian alam semesta ini merupakan mata rantai yang berharga dalam Islam. Islam telah menunjukan kemuliaan yang luar biasa, yang sekaligus menjadi tonggak pemikiran bagi saintis modern untuk meneliti dan memahami misteri alam ciptaan-Nya. Al-Qur’an al-karim ditinjau dari segi bahasanya adalah suatu mu’jizat yang besar, disamping isinya pun (al-Qur’an) mengandung mu’jizat-mu’jizat pencerahan ilmu pengetahuan dan dasar-dasar pengembangan teknologi.


Dalam kandungan al-Qur’an terdapat berita dan janji-janji Allah SWT mengenai masa yang akan datang. Kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa depan adalah di luar kekuasaan manusia untuk mengetahuinya. Di dalamnya terdapat pula fakta-fakta ilmiah yang tidak mungkin diketahui manusia di tanah Arab pada waktu al-Qur’an diwahyukan kepada Rasulullah saw. Akan tetapi, fakta-fakta tersebut dijelaskan dengan tepat dan sekarang diakui kebenarannya, seperti pada masa itu, ilmu kedokteran di tanah Arab boleh dikatakan tidak ada, yang ada hanya ilmu pengobatan secara primitif dan takhyul. Namun demikian dalam surat al-Mu’minuun : 12-14 diterangkan tentang proses pembentukan janin (manusia) yang diakui kebenarannya dalam ilmu kedokteran modern.


Oleh karena kecintaannya kepada al-Qur’an, ummat Islam di masa khalifah Ustman bin ‘ Affan mulai mengarang dan menterjemahkan bermacam-macam buku ilmu pengetahuan tentang falsafah, kesenian, ekonomi, ilmu alam, ilmu kedokteran, ilmu pertanian, ilmu mekanika, geografi, metafisika, kimia, dan lain sebagainya, sehingga perpustakaan-perpustakaan Islam di kota-kota besar (Cairo dan Cordoba) dipenuhi dengan buku-buku ilmiah. Hal ini sesuai dengan anjuran al-Qur’an seperti dalam surat Al-Alaq : 1-5 yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan.


Ilmu memberikan pengertian tentang alam dimana kita hidup. Sehubungan dengan kaidah ilmiah ini, Karl Jaspers pernah menulis, bahwa “ilmu adalah usaha manusia untuk mendengarkan jawaban-jawaban yang keluar dari dunia yang dihuninya”. Ketika Nicolas Copernicus bersama Tycho Brache dan Keppler menyusun suatu skema berdasarkan alasan matematis dalam mempelajari benda-benda langit dan meletakkan bukan bumi namun matahari sebagai pusat, mereka menyadarkan bahwa manusia hanyalah sekadar makhluk tak berarti yang mengorbit dalam jagat yang maha luas ini, dan bukan tokoh utama dari drama alam. Kemudian Galileo (1564-1642) melakukan penelaahan berdasarkan penemuan Copernicus tersebut, yang akhirnya mengemukakan fakta bahwa bumi bukanlah pusat jagat raya, melainkan hanya sebuah planet yang mengelilingi matahari. Sejarah pertentangan Galileo dengan Gereja selama ini sering hanya ditafsirkan sebatas ketertutupan agama (gereja) terhadap sains. Padahal, inti persoalannya adalah pertanyaan tentang kebenaran. Apakah sains memberi landasan untuk memperoleh kepastian mengenai dunia? Apakah sains bisa membawa kita untuk sampai kepada kebenaran? Pertanyaan-pertanyaan sains memiliki kekuatan karena mempunyai struktur yang rasional dan isi yang empiris. Pernyataan itu benar atau salah hanya bisa diketahui melalui pengujian dalam hubungannya dengan fakta atau tidak, melalui prediksi atas apa yang kemudian ternyata benar. Dan, kearifan filosofi Islam (yang bersumber kepada al-Qur’an dan Al-Hadist) telah membuktikannya melalui struktur yang rasional dengan isi yang empiris, mutlak dan bersifat final.


Memang, pada mulanya ahli-ahli ilmu falak menetapkan bahwa matahari tetap, tidak berjalan (beredar) dan hanya bumilah yang beredar (berjalan). Hampir lima belas abad yang lampau, al-Qur’an menegaskan salah satu fakta alam ini: “Dan matahari itu beredar di tempat peredarannya. Demikianlah keterangan dari yang maha perkasa lagi maha mengetahui” (QS. Yaasin : 38). Ini membuktikan bahwa al-Qur’an memberi jawaban kepada berbagai persoalan ummat manusia dan memberi jalan keluar dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dan perselisihan yang dihadapi ummat manusia.


Oleh sebab itu, kemudian munculah suatu pola pikir yang sama sekali berlawanan dengan rasionalisme, yang dikenal dengan istilah emprisme, yang menganjurkan agar kita kembali ke alam semesta untuk ‘memperoleh’ pengetahuan. Menurut mereka, pengetahun ini tidak ada secara apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh dari pengalaman batiniah. Pola berpikir empris ini semula berasal dari sarjana-sarjana muslim dan kemudian ‘diterjemahkan’ di dunia barat melalui tulisan-tulisan Francis Bacon (1561-1626) dalam bukunya, Nofum Organum, yang terbit pada tahun 1620. Pola berpikir rasional pun sebenarnya dikenal oleh pemikir-pemikir Barat dari pembahasan ahli-ahli falsafah Islam terhadap falsafah Yunani kuno, yang dilakukan antara lain oleh Al-Kindi (Abu Yusuf Ya’kub bin Ishak Al-Kindi, 809-873); Al-Farabi (Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Awzalagh Al-Farabi, 881-961); Ibnu Sina (Abu Ali al-Husain bin Abdulah bin Hasan Ali bin Sina, 980-1073); dan Ibnu Rusydi (Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, 1126-1198). Sarjana Islam lain juga menyumbang kemajuan ilmu pengetahuan dengan pengembangan “aljabar” oleh Al-Khawarizmi (Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi, 780-850); juga ahli goniometri Al-Battani al-Harrani as-Sabi, 858-929) yang dikenal sebagai Astrolog Arab termasyhur.


Perlu pula diingat bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak dapat menggantikan kedudukan agama yang merupakan sarana penyembahan illahiah yang paling tepat digunakan untuk menjelaskan misteri alam ini secara menyeluruh. Ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi hanya sebatas kemampuan menemukan fakta atau menerangkan ‘apa sebab’ (science and technology is fact), tetapi tidak menerangkan “mengapa menuju ke suatu kesempurnaan” (not an explanation).


Al-Qur’an dengan panjang lebar memberikan keterangan secara rinci tentang proses kehidupan, antara lain dalam Al-Furqaan : 53. “Dan Dialah yang memberikan dua laut mengalir (berdampingan); Yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi”. Fenomena ini kita baru kita mengenal hukumnya beberapa dekade terakhir, yang disebut “Theory of Surface Tension” yang menjelaskan pemisahan antara dua zat cair, sebab gaya tarik partikel-partikel kedua zat itu berdeda. Ilmu pengetahuan dan teknologi banyak mengadopsi manfaat bagi tersebut, yang tentu saja akan sangat bermanfaat bagi kehidupan ummat manusia.


Di samping itu, al-Qur’an juga menyebut “Hukum Gravitasi” sebagaimana dilukiskan secara jelas dalam surat Ar-Ra’d : 2 yang berbunyi : “Allah yang meninggalkan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy’ dan menundukan matahari dan bulan. Masing-masing beredar dengan waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (Makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan tuhanmu”. Dari ayat ini, manusia menafsirkan dari hasil pengamatan yang membuktikan bahwa benda-benda langit berada kokoh di ruang angkasa yang tidak bertepi dan tanpa tiang atau penyangga, tetapi ada semacam “tiang-tiang yang tidak kelihatan” dalam bentuk “Hukum Gaya tarik” (Grafitation Pull). Gaya tarik inilah yang menopang benda-benda langit untuk di tempatnya. Seorang astrolog Muslim yang teorinya berlandasan pada Al-Qur’an, Ibnu Rusta (Abu Ali Ahmad bin Umar bin Rusta), penulis buku “Kitab al-‘Alak al-Nafisah” (903-913), yang kemudian diedit oleh De Goejo (Leidin, 1892), pada Bab I menjelaskan safera-safera langit (celestial spheres), tanda-tanda zodiak, planet-planet, posisi planet bumi di dalam semesta ini, serta bentuk, ukuran dan saferisitasnya. Sebagai seorang muslim yang taat, Ibnu Rusta banyak mengutip ayat-ayat al-Qur’an untuk menyokong dan memperkuat pandangan-pandangan astronomisnya (M. Nastsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Mizan, 1989).


Dewasa ini, iman seorang muslim dihadapkan pada persoalan yang timbul dari kehidupan modern, dipengaruhi oleh benturan gelombang budaya, peradaban sekuler dan agnostic. Teknologi di samping asas manfaatnya yang luar biasa bagi kualitas kehidupan ummat manusia juga bisa disalahgunakan seperti: narkotika, internet dan sebagainya.


Dunia memerlukan pribadi-pribadi muslim yang tangguh dan brillian seperti Al-Kindi, Ibnu Sina atau Ibnu Rusta, dan pribadi-pribadi yang religius yang sekaligus memahami dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karenanya, kita wajib menguasai sains dan teknologi (ilmu). Tanpa ilmu, manusia sering dan suka berdusta terhadap yang lainnya, dengan maksud menyesatkan manusia lainnnya. Ia akan mengikuti dan menuruti nafsunya sendiri tanpa kendali.

Artikel Lain

Manusia dan lingkaran Informasi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar