“Makna Yang terkandung dalam kalimat Iqra“
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah Dengan Nama Tuhanmu Yang menciptakan”
Surat al-Alaq, surat awal diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW memfokuskan maksud Iqra’ atau ‘Bacalah’ dalam arti kata yang luas. Iqra tidak sekedar membaca apa yang nyata dan tersurat tetapi juga membaca yang tersirat dan ghaib. Malah, yang tersurat dan nyata, manusia masih belum mampu memahami semuanya apalagi hal tersirat atau pun yang ghaib. Iqra' sebagai sumber hikmah mengajak manusia membaca tidak saja alam ini tetapi kekuasaan Penciptanya. Iqra memberikan pedoman kepada manusia melakukan kajian saintifik dan rahsia di sebalik kejadian yang ada kaitan dengan kehidupan.
Iqra berarti ‘mengumpulkan atau menyusun sesuatu sehingga mempunyai arti’, sehingga kata iqra tidak hanya diterjemahkan dengan membaca walaupun dalam proses membaca itu kita sedang mengumpulkan huruf, menyusun huruf, dan kemudian huruf-huruf tersebut mempunyai arti. Di dalam proses mengumpulkan, menyusun, dan mengambil kesimpulan sehingga mempunyai arti, terdapat proses berpikir, menganalisis, dan mengambil keputusan. Begitulah kita lihat, begitu banyak ayat Allah yang bertebaran, bahkan setiap gerak adalah huruf-huruf Allah. Semangat iqra berarti juga melahirkan semangat untuk kritis, tanggap, dan menumbuhkan rasa ingin tahu (curiousity). Umat Islam tidak pernah merasa puas untuk berbuat kebaikan. Mereka benar-benar kecanduan beramal saleh. Sehingga bila sebuah pekerjaan telah selesai, mereka akan segera melanjutkan pekerjaan berikutnya (Alam Nasyrah: 7). Dunia semakin kaya dengan penemuan dan kreativitas manusia karena mereka memiliki sikap kritis dan ingin tahu yang mendalam.
Kita ambil contoh, seorang Issac Newton memperhatikan apel yang jatuh (sebuah tanda atau ayat), kemudian tergerak hatinya, “Mengapa jatuh apel harus ke bawah, mengapa tidak melayang, mengapa tidak jatuh ke langit?” dari hasil pertanyaan itu, mendorong dirinya untuk melakukan riset, bertanya dan kemudian menyimpulkannya sehingga lahirlah teori gravitasi bumi. Dia tidak hanya berhenti pada perenungan sehingga, tetapi kemudian bertindak. Sebagaimana Soichiro Honda yang tidak hanya terobsesi untuk menciptakan mobil yang lebih cepat dari mobil Eropa, tetapi dia bertindak. Dia pergi ke Eropa, belajar dan kemudian mewujudkan mimpi-mimpinya menjadi kenyataan. Benjamin Disraeli berkata, “Action may not always bring happiness; but there is no happiness without action; ‘tindakan memang tidak selalu membawa kebahagiaan, tetapi tidak ada kebahagiaan tanpa tindakan.”
Dari contoh diatas terungkap semangat untuk berubah dimulai dengan semangat untuk mempertanyakan segala sesuatu sehingga benar-benar diyakini. Semangat perubahan akan tumbuh bila kita mau melakukan perenungan yang mendalam. Meneliti dan menimbang apa yang menjadi kelemahan dan kekuatan diri kita dan bagaimana cara diri kita untuk keluar dari permasalah. Inilah yang dimaksud dengan Iqra! Dan pantaslah jika ayat inilah yang pertama kali turun di Gua Hira kepada Baginda Rasulullah saw. Umat Islam tidak boleh berhenti bertanya. Karena dengan bertanya itulah, kita akan mendapatkan berjuta hikmah. Bukankah kita mendapatkan begitu banyak hadits yang pada umumnya diawali dengan dialog atau pertanyaan antara sahabat dan Rasulullah? Apa jadinya kita bila para sahabat tidak bertanya dan tidak ada para pengumpul hadits yang mencatat tanya-jawab tersebut?
Empat huruf dari kata “Iqra” itu pun seakan-akan memberikan isyarat untuk mengajak kita merenung dan kemudian mengambil isyarat yang terkandung di dalamnya. Iqra yang terdiri dari alif, qaf, ra, dan alif, seakan memberikan lambang metaforis kepada kita yaitu sebagai berikut.
Alif: Allah
Huruf ini seakan-akan mengetuk nurani kita, agar kita memulai segala sesuatu karena Allah. Diawali dengan iman kepada Allah, bertawakal kepada Allah.
Dalam pengembaraan batinnya, dia temukan wajah Allah memberikan berkah dan kerahmatan dimana-mana, bahkan ke manapun dia berpaling, ditemukan wajah Allah
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan Barat, maka dimana kamu menghadapkan disitulah wajah (kiblat Allah) sesungguhnya Allah maha luas rahmatnya lagi maha mengetahui. (al-Baqarah: 115).
Alif yang dilambangkan dalam sebuah garis yang lurus itu memberikan pula semacam simbol kepada kita agar tetaplah istiqamah untuk terus manapaki dan bahkan mencari jalan yang lurus agar tidak tersesat oleh jalan lain yang akan menyimpangkan diri dari pertemuan dengan Sang Kekasih Abadi, Allah, dan Rasul-Nya beserta orang-orang yang beriman. Itulah sebabnya, dalam permohonan ihdinash shirathal mustaqiim ‘ya Allah tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus’ memberikan getaran di seluruh relung jiwa untuk membulatkan tekad menapakinya.
Agama Islam sering disimbolkan dengan jalan, sabil, syariat, minhaj, thariq, dan hal itu memberikan nuansa pemikiran bahwa sebuah jalan bukan untuk dipandang, melainkan untuk ditempuh, dijalani agar sampai ke tempat tujuan. Dalam pengertian ini, terkandung pula semacam semangat agar setiap pribadi muslim tidak boleh henti-hentinya mencari kebenaran. Karena, mereka sadar bahwa kebenaran hakiki hanya ada pada-Nya. Bagaimana mungkin kita akan mengarah pada pertemuan, bila jalan yang kita tempuh melenceng dari kebenaran? Dengan huruf alif itu terkandunglah sikap istiqamah, jalan dan akhlak yang lurus. Betapapun Allah telah menunjuki jalan yang benar, namun pada kenyataannya, banyak manusia yang tidak menapaki jalan yang telah ditunjukkan Allah. Mereka tidak mampu menapaki karena tergoda di tengah jalan sehingga menyimpang. Itulah sebabnya, ada tafsir yang mengatakan bahwa ihdinash shirathal mustaqiim tidak hanya memohon diberi petunjuk jalan, tetapi memohon untuk dapat dibimbing dan diantarkan sampai ke tempat tujuan. Tetapi, memang ada pula yang sama sekali tidak mengambil jalan tersebut karena memang pilihannya adalah jalan lain. Hal ini dijelaskan Al-Qur’an,
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (al-Insaan: 3)
Alif adalah lambang kebenaran awal dan akhir. Sebuah jalan yang merentang lebar menghubungkan sang hamba dengan Tuannya, sang makhluk dengan Khaliqnya. Semangat iqra bergelayutan di dalam hati sanubarinya dengan diawali mencari jalan, mencari kebenaran, bahkan mereka yang berada di surga pun masih tetap mencari jalan, sebagaimana firman-Nya :
وَيُسْقَوْنَ فِيهَا كَأْسًا كَانَ مِزَاجُهَا زَنْجَبِيلا
عَيْنًا فِيهَا تُسَمَّى سَلْسَبِيلا
“Di dalam surga itu mereka diberi minuman sejenis jahe (zanjabil), (yang didatangkan) dari sebuah mata air surga yang dinamakan salsabil.” (al-Insaan: 17-18)
Berkaitan dengan ayat ini, Abdullah Yusuf Ali dalam Tafsir-nya, The Meaning of The Holy Qur’an, menulis: Salsabil literally means: “Seeks the way”. The way is now open to the presence of the Most High. Secara harfiah, salsabil berarti ‘carilah jalan’. Dan jalan itu sekarang terbuka luas untuk bertatap muka dengan Sang Mahakuasa. Mereka yang selama hidupnya tetap menapaki jalan lurus dan terus mencari jalan kebenaran agar tidak tersesat, kini memperoleh ganjaran berupa surga, dan sebagai hasil dari upayanya yang terus-menerus bertanya atau mencari jalan (salsabila), mereka memperoleh ganjaran dari hasil upayanya itu.
Dengan memahami ini, seorang muslim akan menampilkan etos kerja yang tidak pernah padam. Karena semangat untuk mencari jalan merupakan kunci utama menuju kebahagiaan abadi.
Qaf: Isi Qalbu dengan Allah dan Rasul-Nya
Huruf qaf yang pertama menunjukkan kualitas hati yang menjadi hidup dan cemerlang karena rasa cinta yang mendalam kepada Allah dan Rasul-Nya. Ada semacam bisikan di hatinya, “Penuhi dadamu dengan cinta. Qur’an pun diawali dengan huruf qaf, sehingga engkau harus mampu menampakkan diri sebagai Qur’an yang berjalan (the walking Qur’an). Isilah dengan minyak yang akan terus benderang, yaitu dengan dua titik yang ada di atas huruf qaf tersebut. Dua titik tersebut seakan menyuruh kita agar sang hati dipenuhi dengan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Dua titik itu pun memberikan informasi agar kita menempuh kebahagiaan akhirat, tetapi jangan lupa dengan dunia. Bila huruf tersebut hanya ada satu titik, bukan qaf lagi, melainkan fa. Maka, celakalah yang hatinya kehilangan dua titik tersebut, karena dia berubah menjadi huruf wau (kalau tidak salah ada nama sejenis monyet yang disebut dengan wau-wau. Sehingga, seorang yang hatinya kehilangan nilai moral yang bersumber dari Allah, (Al-Qur’an) dan hadits dari Rasul-Nya, lantas apa bedanya dengan wau-wau tersebut?).
Ra: Rahmatan Lil Alamin
Dimana pun engkau berada, engkau hanyalah seorang yang memberikan rahmat bagi alam semesta. Hidup ingin selalu mempunyai arti. Itulah sebabnya, engkau harus mampu mewujudkan ucapan salam yang engkau sebut setiap akhir salat menjadi wujud kenyataan. Rahmatan lil alamin berarti ingin menjadi pelita yang berbinar-binar (sirajam muniram, al-Ahzab: 46). Menerangi yang kegelapan, memberi petunjuk yang tersesat, percikan air pemuas orang yang dahaga dan menjadi tongkatnya Musa yang menyibak kebenaran dengan kebatilan.
Alif: Allah
Apabila engkau telah mempunyai arti, akhirilah hidup ini hanya semata-mata untuk menuju keridhaan Allah SWT. Sekali hidup penuh arti dan bila mati jiwa terpatri cinta tiada terperi untuk menggapai karunia ilahi Rabbi. Mati dalam keadaan khusnul khatimah!
Memahami makna dari empat huruf iqra tersebut terbersit beberapa pertanyaan pada diri kita yaitu :
1. Seperti apa bentuk jalan yang lurus yang di ridhai Allah itu ?
2. Bagaimana langkah kita dalam menapaki dan bisa sampai atau bahkan berada pada jalan yang lurus itu (Jalan yang diridhai Allah) ?
3. Bagaimana manusia bisa menjadi Qur’an berjalan (the walking Qur’an) ?
Seperti apa dan bagaimana Al-qur’an itu di implementasikan ?
4. Bagaimana Al-qur’an itu bisa menjadi pedoman hidup dan rahmat bagi semesta Alam ?
5. Pertanyaan terakhir adalah inti dari kita memahami iqra tadi yaitu siapa diri kita ini ? dan apakah hidup kita ini sudah diridhai Nya ?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas alangkah baiknya kita kembali memahami dan mencoba mengilustrasikan gambaran dari ayat pertama Qs Al-alaq yaitu :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah Dengan Nama Tuhanmu Yang menciptakan”
Dalam konteks ayat diatas sudah jelas bahwa kita sebagai manusia harus ingat terhadap siapa diri kita dan siapa yang menciptakan kita. Artinya manusia itu adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Arti kata manusia ini sengaja diadakan oleh Allah sebagai wujud dari kekuasaan Allah yang keberadaannya itu tentu harus diakui oleh manusia.
Setelah kita memahami bahwa manusia itu makhluk yang diciptakan oleh Allah maka kita harus memahami pula tentang apa tujuan Allah menciptakan manusia ?
Untuk mengetahui hal itu kita lihat Al-Qur’an Qs 2 : 30 dan Qs 51 : 56
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi. Mereka berkata mengapa engkau hendak menjadikan khalifah dimuka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan menyucikan engkau. Tuhan berfirman sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs Al-baqarah : 30)
Dalam surat diatas dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk menjadi seorang khalifah yang tentunya tugas seorang khalifah adalah beribadah kepada Allah dengan cara mengelola bumi ini sebaik mungkin melalui petunjuk Al-qur’an. Manusia diciptakan untuk berqur’an dan Al-qur’an di turunkan untuk dipelajari oleh manusia supaya menjadi penerang dalam melaksanakan kehidupannya. Allah berfirman :
هَذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ
“Al-Qur’an ini adalah penerangan untuk seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” (QsAl-imran : 138)
Bagaimana jadinya bila hidup ini tanpa adanya Al-qur’an ? hari ini dengan adanya al-qur’an saja sudah terjadi kebobrokan moral dimana-mana kita lihat hampir setiap hari berita kriminal ataupun anarkis kita lihat dan dengar di media-media informasi. Bahkan masalah sepelepun bisa sampai mengucurkan darah. Ini membuktikan bahwa umat manusia hari ini sudah jauh dari al-qur’an dalam arti sudah banyak yang meninggalkan ajaran-ajaran al-qur’an yang telah Allah gariskan dan dicontohkan oleh rasulullah SAW. Maka oleh karena itu kenapa dari zaman dulu Allah senantiasa mengutus rasul-rasulnya untuk mmperbaiki akhlak manusia itu tidak lain karena Allah ingin bumi ini dipusakai/diwariskan untuk orang sholeh.sesuai firmannya “Dan bumi ini kami warikan untuk hamba-hambaku yang sholeh” (Qs Al-ambiya : 105). Pertanyaannya yang bagaimana orang sholeh itu ?
Dengan demikian sudah jelas bahwa manusia supaya selamat dalam menjalani kehidupannya baik dunia maupun akhirat harus berlandaskan nilai-nilai al-qur’an karena al-qur’an merupakan penerang (cahaya diatas cahaya) bila kita ibaratkan Al-qur’an itu sebagai center ketika kita berada dalam gua yang gelap gulita.
Jadi pada intinya Allah menciptakan segala sesuatu dimuka bumi ini ada maksud dan tujuannya sebagi contoh Allah menciptakan bumi untuk tempat tinggal manusia dan menurunkan Al-Qur’an untuk di jadikan sebagai way of life dalam kehidupan ini. Sehingga manusia sadar akan fungsinya yaitu sebagai hamba Allah yang mempunyai tugas mengabdi, taat, dan patuh terhadap sang khaliknya. Sesuai firmannya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak menciptakan Jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku”
(Qs adz-Dzariyat: 56)
Selanjutnya kita lihat fungsi daripada Al-Qur’an yang digunakan untuk membimbing kehidupan manusia ke jalan yang di ridhai oleh Allah.
Landasan Ayat : Qs 2/185, dan Qs 4/105
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Beberapa hari yang diturunkan itu adalah bulan ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan permulaan Al-qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk-petunjuk itu dan pembeda antara yang hak dan yang batil”
(Qs Al-baqarah : 185)
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang-orang yang tidak bersalahkarena membela orang-orang yang khianat." (Qs Annisa : 105)
Dalam kedua Ayat tersebut kedukan Al-Qur’an Adalah sebagai petunjuk dan hukum. Petunjuk artinya menunjuki arah jalan yang harus ditempuh serta yang perlu diperhatikan dalam melangkah oleh manusia. Sedangkan hukum berperan sebagai batasan-batasan yang harus dikerjakan oleh manusia sebagai upaya Allah melindungi fitrah manusia.
Fitrah secara bahasa artinya suci yang didefinisikan bahwa fitrah manusia itu adalah kesucian manusia dalam mempertahankan jati dirinya sebagai hamba Allah yang mempunyai tugas beribadah dengan cara mentauhidkan-Nya tanpa terkontaminasi dengan hal-hal yang berbau syirik. (menduakan/mencintai selain daripada Allah)
Untuk bisa mempertahankan fitrah tersebut Allah telah memberikan petunjuknya dalam Al-qur’an yaitu dalam Qs 30/30 :
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama(Dien) Allah tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu tidak ada perubahan pada fitrah Allah itulah Agama (Dien) yang lurus tapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (Qs Ar-Rum : 30)
Penjelasan ayat diatas :
Allah Swt. berfirman: Fa aqim wajhaka li ad-dîn h anîfâ (Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama/Dien Allah). Menurut Mujahid, Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-‘Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan az-Zuhayli, kata ad-dîn bermakna dîn al-Islâm. Penafsiran ini sangat tepat, karena khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw., tentu agama (dien) yang dimaksudkan adalah Islam.
Adapun hanîf, artinya cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanîf tersebut, merupakan hâl (keterangan) bagi adh-dhamîr (kata ganti) dari kata aqim atau kata al-wajh ; bisa pula merupakan hâl bagi kata ad-dîn. Dengan demikian, perintah itu mengharuskan untuk menghadapkan wajah pada dîn al-Islâm dengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, dan tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang. Perintah ini merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini, istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: fithrah Allâh al-latî fathara an-nâs ‘alayhâ (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu) . Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia.
Menurut sebagian mufasir, kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama (Dien) yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid dan dîn al-Islâm sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.
Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan. Telah ditegaskan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi.
Harus diingat, kata fithrah Allâh berkedudukan sebagai maf‘ûl bih (obyek) dari fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi, yakni ilzamû (tetaplah) atau ittabi‘û (ikutilah). Itu berarti, manusia diperintahkan untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian, maka fitrah yang dimaksudkan tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri tentang Tuhan atau kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid atau dîn al-Islâm itu sendiri. Frasa ini memperkuat perintah untuk mempertahankan penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama batil lainnya, dan terus memelihara sikap istiqamah terhadap dîn al-Islâm , dîn al-haq , yang diciptakan Allah Swt. untuk manusia. Ini sama seperti firman-Nya (yang artinya): Tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat beserta kamu. (QS Hud [11]:112).
Allah Swt. berfirman: Lâ tabdîla li khalqillâh (tidak ada perubahan atas fitrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha'i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâh maksudnya adalah li dînillâh . Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah . Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh , maka kata khalq Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn Allâh.
Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain. Oleh karena itu, menurut sebagian mufassir, sekalipun berbentuk khabar nafî (berita yang menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahî (tuntutan untuk meninggalkan). Dengan demikian, frasa tersebut dapat diartikan: Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan; janganlah mengubah fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah pada agama fitrah, yakni agama(Dien) Islam .
Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: Dzâlika ad-dîn al-qayyim walâkinna aktsara an-nâs lâ ya‘lamûn (Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Kata al-qayyûm merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-qiyâm (lurus). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnyaDari ayat tersebut jelas bahwa fitrah Allah ini diberikan kepada manusia supaya manusia itu berjalan atas fitrahnya yang ternyata fitrah Allah itu adalah Dinul Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar